My Blog List

Search This Blog

Friday 13 August 2010

Jenis-jenis Pernapasan Hewan

Sistem Pernapasan Hewan

A. Burung

Burung mempunyai saluran pernapasan yang terdir atas lubang hidung, trakea, bronkus dan paru-apru. Pada bagian bawah trakea terdapat alat suara disebut siring. Burung mempunyai alat bantu pernapasan yang disebut pundi-pundi udara yang berhubungan dengan paru-paru. Fungsi pundi-pundi udara antara lain untuk membantu pernapasan dan membantu membesarkan rongga siring sehingga dapat memperkeras suara. Proses pernapasan pada burung terjadi sebagai berikut. Jika otot tulang rusuk berkontaksi, tulang rusuk bergerak ke arah depan dan tulang dada bergerak ke bawah. Rongga dada menjadi besar dan tekanannya menurun. Hal ini menyebabkan udara masuk ke dalam paru-paru dan selanjutnya masuk ke dalam pundi-pundi udara. Pada waktu otot tulang rusuk mengendur, tulang rusak bergerak ke arah belakang dan tulang dada bergerak ke arah atas. Rongga dada mengecil dan tekanannya menjadi besar, mengakibatkan udara keluar dari paru-paru. Demikian juga udara dari pundi-pundi udara keluar melalui paru-apru. Pengambilan oksigen oleh paru-paru terjadi pada waktu inspirasi dan ekspirasi. Pertukaran gas hanya terjadi di dalam paru-paru.


B. Reptil
Reptil bernapas dengan paru-paru. Pengambilan oksigen dan pengeluaran karbondioksida terjadi di dalam paru-paru. Keluar masuknya udara dari dan keluar paru-paru karena adanya gerakan-gerakan dari tulang rusuk. Saluran pernapasan terdiri dari lubang hidung, trakea, bronkus dan paru-paru.


C. Katak
Katak dalam daur hidupnya mengalami metamorfosis atau perubahan bentuk. Pada waktu muda berupa berudu dan setelah dewasa hidup di darat. Mula-nula berudu bernapas dengan insang luar yang terdapat di bagian belakang kepala. Insang tersebut selalu bergetar yang mengakibatkan air di sekitar insang selalu berganti. Oksigen yang terlarut dalam air berdifusi di dalam pembuluh kapiler darah yang terdapat dalam insang.
Setelah beberapa waktu insang luar ini akan berubah menjadi insang dalam dengan cara terbentuknya lipatan kulit dari arah depan ke belakang sehingga menutupi insang luar. Katak dewasa hidup di darat, pernapasannya dengan paru-paru. Selain dengan paru-paru, oksigen dapat berdifusi dalam rongga mulut yaitu melalui selaput rongga mulut dan juga melalui kulit.


D. Ikan
Ikan mas bernapas dengan insang yang terdapat pada sisi kiri dan kanan kepala. Masing-masing mempunyai empat buah insang yang ditutup oleh tutup insang (operkulum). Proses pernapasan pada ikan adalah dengan cara membuka dan menutup mulut secara bergantian dengan membuka dan menutup tutup insang. Pada waktu mulut membuka, air masuk ke dalam rongga mulut sedangkan tutup insang menutup. Oksigen yang terlarut dalam air masuk berdifusi ke dalam pembuluh kapiler darah yang terdapat dalam insang. Dan pada waktu menutup, tutup insang membuka dan air dari rongga mulut keluar melalui insang. Bersamaan dengan keluarnya air melalui insang, karbondioksida dikeluarkan. Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi pada lembaran insang.
Serangga mempunyai sitem pernapasan yang disebut sistem trakea. Oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel tubuh untuk oksidasi tidak diedarkan oleh darah tetapi diedarkan oleh trakea yang bercabang-cabang ke seluruh tubuh. Cabang kecil trakea yang menembus jaringan tubuh disebut trakeolus. Masuknya udara untuk pernapasan tidak melalui mulut melainkan melalui stigma (spirakel).
Proses pernapasan pada serangga terjadi sebagai berikut. Dengan adanya kontraksi otot-otot tubuh, maka tubuh serangga menjadi mengembang dan mengempis secara teratur. Pada waktu tubuh serangga mengembang, udara masuk melalui stigma, selanjutnya masuk ke dalam trakea, kemudian ke dalam trakeolus dan akhirnya masuk ke dalam sel-sel tubuh. Oksigen berdifusi ke dalam sel-sel tubuh. Karbondioksida hasil pernapasan dikeluarkan melalui sistem trakea juga yang akhirnya dikeluarkan melalui stigma pada waktu tubuh serangga mengempis.


E. Cacing tanah
Cacing tanah tidak mempunyai alat pernapasan khusus. Kulitnya banyak mengandung kelenjar lendir, sehingga kulit tubuhnya menjadi basah dan lembab. Oksigen yang diperlukan oleh tubuhnya masuk melalui seluruh permukaan tubuh secara difusi. Pengeluaran karbon dioksida juga melalu permukaan tubuh.

F. Protozoa
Protozoa tidak mempunyai alat pernapasan khusus untuk memperoleh oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Oksigen masuk ke dalam sel malalui selaput plasma secara difusi. Demikian juga karbon dioksida dari dalam sel deikeluarkan melalui selaput plasma.


G. Kelinci
Sistem pernapasan Kelinci hidung-bernapas (bernapas mulut adalah tanda prognosis sangat miskin). Hidung bergerak naik dan turun dalam kelinci normal ("kedut") 20-120 kali per menit, tetapi ini akan berhenti ketika kelinci sangat santai atau dibius. celah suara itu kecil dan visual tertutup oleh bagian belakang lidah. laryngospasm refleks adalah umum pada kelinci, yang dapat mempersulit intubasi endotrakeal. Rongga dada kecil, dan bernapas terutama diafragma. Paru-paru memiliki tiga lobus, lobus paru-paru dan tengkorak yang kecil (kiri lebih kecil dari kanan). jumlah besar lemak intrathoracic sering hadir. timus tetap besar di kelinci dewasa dan terletak ventral ke jantung, memperluas in ke cerukan dada.


H. Belalang
Sistem pernafasan pada serangga disebut sistem trakea. Ini melibatkan difusi oksigen secara langsung dari atmosfer ke dalam tabung berisi udara. Dengan demikian, difusi adalah melalui udara dan karenanya, lebih efisien daripada difusi melalui air (300.000 kali lebih) atau jaringan (1.000.000 kali lebih).
Pada belalang, sistem trakea terdiri dari 10 pasang spirakel, terletak lateral pada permukaan tubuh. Dari jumlah tersebut, 2 pasangan yang toraks dan 8 pasang adalah perut. Para spirakel dijaga oleh bulu-bulu halus untuk menjaga partikel asing keluar dan katup yang berfungsi untuk membuka atau menutup spirakel yang diperlukan. The spirakel terbuka ke ruang kecil yang disebut atrium yang terus disebut sebagai pembuluh udara tracheae tersebut. tracheae ini adalah tabung halus yang memiliki dinding sel epitel berlapis tunggal. Sel-sel thickenings cuticular spiral mengeluarkan sekitar tabung yang memberikan dukungan kepada tabung.
Sistem trakea Serangga Cabang tabung trakea lebih lanjut ke tracheoles halus yang masuk ke seluruh jaringan dan kadang-kadang, bahkan sel-sel serangga. Ujung tracheoles yang ada di jaringan diisi dengan cairan dan kekurangan thickenings cuticular.
Tabung trakea utama bergabung bersama untuk membentuk tiga utama trakea batang-punggung, perut dan lateral. Di beberapa tempat, trakea memperbesar untuk membentuk kantung-kantung udara yang tidak memiliki kutikula dan melayani untuk menyimpan udara.


I. Kepiting
Insang terletak pada dua ruang branchial dibentuk oleh branchiostegites dari karapas tersebut. F kepiting reshwater biasanya memiliki sembilan pasang insang (sama seperti kepiting laut).
Pada kepiting air tawar air, mayoritas air pernapasan memasuki bilik insang bagian perut melalui bukaan inhalansia (yang 'Milne-Edwards bukaan') terletak antara sendi dasar dari chelipeds antara sendi basal berjalan kaki dan margin tetangga karapas air Exhalent. meninggalkan ruang insang melalui dua saluran eferen di kedua sisi rongga mulut. Aliran pernafasan dikelola oleh aksi pemukulan dari bailers insang (scaphognathites) yang merupakan bagian dari maxillae kedua.
Penurunan jumlah insang terlihat dalam beberapa-spesies udara pernapasan seperti Afrika terestrial kepiting air tawar Globonautes Macropus. Terrestrial jenis kepiting air tawar Afrika (misalnya, Globonautes Macropus) secara berkala melakukan respirasi udara melalui paru-paru "" ( disebut "pseudolung") yang terdiri dari sebuah berdaging vascularized membran di bagian dorsal ruang insang, meskipun spesies ini juga mempertahankan insang fungsional penuh di bagian ventral dari ruang insang.


J. Kupu-kupu
Kupu-kupu adalah serangga. Menurut definisi, semua serangga memiliki enam kaki dan tiga segmen tubuh: kepala, dada dan perut.
Tiga fitur yang paling menonjol kepala adalah antena, mata dan belalai.
antena yang digunakan untuk keseimbangan dalam penerbangan dan sensasi penciuman. Kupu-kupu memiliki sayap rapuh. Sayap bisa memakai dengan mudah melalui penggunaan normal. Mereka juga dapat rusak parah karena predator yang saat menyerang hanya sayap kupu-kupu ambil daripada tubuh. Meskipun kehilangan bahkan mayoritas luas permukaan sayap mereka, kupu-kupu akan terus bisa terbang dan navigasi. Mereka dapat melakukan hal ini karena keseimbangan yang diberikan mereka dengan antena mereka. antena ini juga berguna untuk bau. Wanita rilis feromon kupu-kupu (seperti parfum) ke udara. Kupu-kupu jantan spesies yang dapat mendeteksi feromon dari sejauh 2 kilometer (lebih dari satu mil). Tergantung pada konsentrasi feromon, laki-laki akan dapat menemukan betina untuk kawin dengannya. Ini perlu dicatat bahwa beberapa spesies ngengat sensitif terhadap kehadiran feromon betina 'hingga lima kilometer (sekitar tiga mil) jauh.
Mata kupu-kupu adalah struktur berbentuk bola besar. Ini adalah mata majemuk yang terdiri dari ribuan omatidea berbentuk heksagonal. Setiap omatidea, atau sensor miniscule, diarahkan pada sudut yang sedikit berbeda dari yang lain. Secara kolektif mereka diarahkan ke segala arah - atas, bawah, depan, belakang, kiri dan kanan. Karena itu, kupu-kupu dapat melihat di hampir setiap arah secara bersamaan.
Ada harga yang harus dibayar untuk memiliki otak yang sangat kecil dan omnivision. Kupu-kupu tidak dapat memfokuskan visi mereka sebagai apa yang mereka lihat paling-paling kabur. Selain itu, mereka hanya peka terhadap tiga fitur paling dasar dari visi yang akan menjadi cahaya, warna dan gerak. Kupu-kupu dapat membedakan malam dari hari. Mereka mungkin membedakan warna bersama sebuah band yang sangat sempit dari spektrum cahaya. Oleh karena itu kupu-kupu bisa melihat dan memberi makan dari sari bunga ungu tapi tidak menyadari ke bunga merah di dekatnya. Kupu-kupu juga sensitif terhadap gerakan. Ketika Anda mencoba untuk menangkap kupu-kupu dengan tangan Anda, ia tidak akan berpikir, "Ini dia tangan Billies '". Namun ini akan menyadari bahwa sesuatu yang besar di luar sana bergerak, semakin dekat dan sudah waktunya untuk terbang.
Kupu-kupu tidak memiliki gigi atau rahang. Sebaliknya, mekanisme pemberian pakan mereka adalah tabung berlaras ganda yang panjang disebut belalai. Karena mereka feed melalui apa yang dasarnya sedotan berlaras ganda, diet cairan kupu-kupu secara eksklusif. Pakan pilihan akan bervariasi tergantung spesies kupu-kupu. Meskipun orang biasanya berpikir kupu-kupu sebagai makan dari sari bunga, diet umum lainnya termasuk lumpur, kotoran sapi, air dan pohon getah.
Orang sering bertanya apakah kupu-kupu polinator penting. Jawabannya adalah, dengan beberapa pengecualian penting, tidak. Lebah adalah penyerbukan workhorses dunia. Untuk spesies-spesies yang polinator serbuk sari akan menempel pada belalai atau kaki dan terpaksa disimpan di bunga berikutnya yang dikunjungi.
bagian dada, tubuh segmen menengah, menghubungkan pelengkap kupu-kupu '- enam kaki dan empat sayap. Telinga kupu-kupu ', membran ketat mirip dengan gendang telinga manusia juga terletak di sini. Meskipun tidak bisa dilihat, membran ini memiliki rambut-rambut di bawah mereka. Ketika sebuah gelombang suara hits membran, membran bergetar dan menyentuh rambut tersebut. Ketika dirangsang, bulu-bulu mengirim pesan ke otak yang menunjukkan arah dan jarak suara dari individu.
The reproduksi, pernafasan, sistem peredaran darah dan pencernaan yang terletak di perut. Karena cairan adalah satu-satunya yang masuk tubuh kupu-kupu itu, cairan adalah satu-satunya yang dikeluarkan. Anus terletak di ujung perut dan umumnya baik tersembunyi. sistem peredaran darah Sebuah kupu-kupu relatif sederhana. Jantung adalah pompa yang terpasang pada tabung panjang yang membentang dari perut ke kepala. Darah dipompa melalui selang ini dilepaskan ke jaringan. Melalui gradien tekanan, merembes darah melalui jaringan kembali ke perut. Ada itu tersedot kembali ke jantung dan dipompa maju lagi.
Pada kupu-kupu, tidak ada transportasi oksigen dalam darah. Kupu-kupu telah katup disebut spirakel sepanjang kedua sisi tubuh mereka. Beberapa dari spirakel, kebanyakan terletak di sepanjang perut, memungkinkan oksigen masuk. spirakel lain karbon dioksida napas. Dengan cara ini oksigen akan memasuki tubuh secara langsung. Begitu masuk, ada jaringan terowongan mirip dengan jaringan pembuluh darah di tubuh manusia. Oksigen akan berkunjung langsung ke tempat itu diperlukan dan masuk ke jaringan.

Thursday 12 August 2010

MAKALAH PEMBELAJARAN

KATA PENGANTAR

      Puji syukur kehadirat Allah SWT,karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih di beri kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Aspek-aspek yang mempengaruhi Perkembangan Pembelajaran Siswa”.Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini .Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.Amin


                                                                                                                                      Madiun, Juni 2010


                                                                            DAFTAR ISI

Halaman judul …………………………………………………………………….. i
Kata pengantar ……………………………………………………………………. ii
Daftar isi …………………………………………………………………….. iii
BAB I. PENDAHULUAN
A . Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B . Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C . Tujuan Penulisan ................................................................................. 1
BAB II. KONSEP DASAR PERKEMBANGAN BELAJAR PESERTA DIDIK
A. Pengertian Perkembangan .................................................................... 2
B. Pengertian Belajar ................................................................................ 3
C. Pengertian Peserta Didik .................................................................... 4
BAB III. ASPEK-ASPEK YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN PEMBELAJARAN SISWA
A. Aspek Psikososial Dalam Perkembangan Anak ................................... 5
B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum ........................................... 5
C. Pengembangan Intruksional ................................................................. 10
D. Jenis Wacana ......................................................................................... 11
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan ……………………………………………………………… 12
B. Saran ………………………………………………………………….. 12
C. Harapan ……………………………………………………………….. 12

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 13






BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Sebagian besar dari perkembangan berlangsung melalui kegiatan belajar. Dalam perkembangan dan kemajuan suatu bangsa dapat ditentukan oleh proses belajar yang dilakukan oleh penduduknya, terutama proses belajar dalam hal pendidikan. Mengingat sangat pentingnya bagi kehidupan, maka proses belajar harus dilaksanakan sebaik - baiknya sehingga memperoleh hasil yang diharapkan. Usaha dan keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut dapat berasal dari dalam dirinya atau di luar dirinya atau lingkungan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memehami berbagai faktor tersebut. Agar belajar menjadi lebih efektif sehingga hasinnya sesuai dengan yang diharapkan.
B. Rumusan Masalah
• Apa yang yang dimaksud dengan perkembangan , belajar dan peserta didik ?
• Aspek-aspek apa sajakah yang mempengaruhi perkembangan belajar siswa ?
• Apa saja faktor yang mempengaruhi belajar siswa ?
C. Tujuan
• Mengetahui faktor – faktor yang berpengaruh dalam belajar
• Mengetahui dan menjelaskan aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan belajar siswa.
• Mengetahui dan menyebutkan faktor yang mempengaruhi belajar.



BAB II
KONSEP DASAR PERKEMBANGAN BELAJAR PESERTA DIDIK

A. Pengertian Perkembangan
Perubahan merupakan hal yang melekat dalam perkembangan. E.B. Hurlock (Istiwidayanti dan Soejarwo, 1991) mengemukakan bahwa perkembangan atau development merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti, perkembangan terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat progresif (maju), baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan kualitatif disebut juga ”pertumbuhan” merupakan buah dari perubahan aspek fisik seperti penambahan tinggi, berat dan proporsi badan seseorang. Perubahan kuantitatif meliputi peubahan aspek psikofisik, seperti peningkatan kemampuan berpikir, berbahasa, perubahan emosi dan sikap, dll. Selain perubahan ke arah penambahan atau peningkatan, ada juga yang mengalami pengurangan seperti gejala lupa dan pikun. Jadi perkembangan bersifat dinamis dan tidak pernah statis.
Terjadinya dinamika dalam perkembangan disebabkan adanya ”kematangan dan pengalaman” yang mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi/realisasi diri. Kematangan merupakan faktor internal (dari dalam) yang dibawa setiap individu sejak lahir, seperti ciri khas, sifat, potensi dan bakat. Pengalaman merupakan intervensi faktor eksternal (dari luar) terutama lingkungan sosial budaya di sekitar individu. Kedua faktor (kematangan dan pengalaman) ini secara stimultan mempengaruhi perkembangan seseorang. Seseorang anak yang memiliki bakat musik dan didukung oleh pengalaman dalam lingkungan keluarga yang mendukung perkembangan bakatnya seperti menyediakan dan memberi les musik, akan berkembang terus menerus sepanjang hayat memungkinkan manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana manusia hidup. Sikap manusia terhadap perubahan berbeda-beda tergantung beberapa faktor, diantaranya pengalaman pribadi, streotipe dan nilai-nilai budaya, perubahan peran, serta penampilan dan perilaku seseorang.


B.Pengertian Belajar
Cukup banyak para ahli yang merumuskan pengertian belajar. Slamento (1995) merumuskan belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkahlaku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Sementara Winkel (1989) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses kegiatan mental pada diri seseorang yang berlangsung dalam interaksi aktif individu dengan lingkungannya. Sehingga menghasilkan perubahan yang relatif menetap/ bertahan dalam kemampuan ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik, yang diperoleh melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar terjadi secara sadar, bersifat kontinu, relatif menetap, dan mempunyai tujuan terarah pada kemajuan yang progresif.
Belajar abad 21, seperti yang dikemukakan Delors (Unesco, 1996), didasarkan pada konsep belajar sepanjang hayat (life long learning) dan belajar begaimana belajar (learning how to learn). Konsep ini bertumpu pada empat pilar pembelajaran yaitu : (1) learning to know (belajar mengetahui) dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk bekerja melalui kemampuan belajar bagaimana caranya belajar sehingga diperoleh keuntungan dari peluang-peluang pendidikan sepanjang hayat yang tersedia; (2) learning to do (belajar berbuat) bukan hanya untuk memperoleh suatu keterampilan kerja tetapi juga untuk mendapatkan kompetensi berkenaan dengan bekerja dalam kelompok dan berbagai kondisi sosial yang informal; (3) learning to be (belajar menjadi dirinya) dengan lebih menyadari kekuatan dan keterbatasan dirinya, dan terus menerus mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik dan mampu bertindak mandiri, dan membuat pertimbangan berdasarkan tanggung jawab pribadi; (4) learning to live together (belajar hidup bersama) dengan cara mengembangkan pengertian dan kemampuan untuk dapat hidup bersama dan bekerjasama dengan orang lain dalam masyarakat global yang semakin pluralistik atau /majemuk secara damai dan harmonis, yang didasari dengan nilai-nilai demokrasi, perdamaian, hak asasi manusia, dan perkembangan berkelanjutan.

C.Pengertian Peserta Didik
Peserta didik dalam arti luas adalah setiap orang yang terkait dengan proses pendidikan sepanjang hayat, sedangakan dalam arti sempit adalah setiap siswa yang belajar disekolah (Sinolungan, 1997). Departemen Pendidikan Nasional (2003) menegaskan bahwa, peserta didik adalah angota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Peserta didik usia SD/MI adalah semua anak yang berada pada rentang usia 6-12/13 tahun yang sedang berada dalam jenjang pendidikan SD/MI.
Peserta Didik merupakan subjek yang menjadi fokus utama dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Penting anda pahami sebagai guru kelas SD bahwa pemahaman dan perlakuan terhadap peserta didiksebagai suatu totalitas atau kesatuan.
Sinolungan (1997) juga mengemukakan, manusia termasuk peserta didik adalah mahluk totalitas ”homo trieka”. Ini berarti manusia termasuk peserta didik merupakan (a) mahluk religius yang menerima dan mengakui kekuasaan Tuhan atas dirinya dan alam lingkungan sekitarnya, (b) mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam berinteraksi dan saling mempengaruhi agar berkembang sebagai manusia; serta (c) mahluk individual yang memiliki keunikan (ciri khas, kelebihan, kekurangan, sifat dan kepribadian, dll.), yang membedakan dari individu lain.
Jadi dalam mempelajari dan memperlakuakan peserta didik, termasuk peserta didik usia SD/MI hendaknya dilakukan secara utuh, tidak terpisah-pisah. Kita harus melihat mereka sebagai suatu kesatuan yang unik, yang terkait satu dengan yang lainnya.




BAB III
ASPEK-ASPEK YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN PEMBELAJARAN SISWA

A. Aspek Psikososial Dalam Perkembangan Anak
Perkembangan anak pada umumnya meliputi keadaan phisik, emosional sosial intelektualnya. Bila kesemuanya ini berjalan secara harmonis maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya (mentally helath). Pengertian yang cukupmengenai fase-fase perkembangan manusia pada umumnya merupakan hal yang sangat penting untuk dapat membantu anak dalam memperkembangkan dirinya agar dapat mencapai perkembangan secara harmonis dan optimal. Tiap-tiap fase mempunyai kekhususannya sendiri. Seperti telah diketahui fase-fase perkembangan anak dapat di bagi menjadi beberapa : fase bayi (0 – 2 tahun), fase prasekolah (2 – 5 tahun), fase umur sekolah (5 – 12 tahun), fase remaja (12 -18 tahun), fase dewasa. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa dalam perkembangan jiwa terdapat periode-periode kritik yang berarti bahwa bila periode-periode ini tidak dapat dilalui dengan harmonis maka akan timbul gejala-gejala yang menujukkan misalnya, keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri kepribadian yang terganggu bahkan menjadi gagal sama sekali dalam tugas sebagai makhluk sosial untuk mengadakan hubungan antar manusia yang memuaskan baik untuk diri sendiri untuk orang di lingkungannya (psikotik).
B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Agar kurikulumdapat berfungsi sebagai pedoman , maka ada sejumlah prinsip dalam proses pengembangannya. Dibawah ini akan di uraikan sejumlah prinsip yang dianggap penting.
1. Prinsip Relevansi
Kurikulum merupakan rel-nya pendidikan untuk membawa siswa agar dapat hidup sesuai dengan nilai- nilai yang ada di masyarakat serta membekali siswa baik dalam bidang pengetahuan, sikap maupun keterampilan sesuai dengan tuntunan dan harapan masyarakat.Oleh sebab itu, pengalaman-pengalaman belajar yang disusun dalam kurikulum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat. Inilah yang disebut dengan prinsip relevansi.
Ada dua macam relevansi, yaitu rerlevansi internal dan relevasi eksternal. Relevansi internal adalah bahwa setiap kurikulum harus memiliki keserasian antara komponen-komponennya, yaitu keserasian antara tujuan yang akan dicapai,isi, materi atau pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, strategi atau metode yang digunakan serta alat penilaian untuk melihat tercapainya tujuan. Relevan eksternal berkaitan dengan keserasian antara tujuan , isi, dan proses belajar siswa yang tercakup dalam kurikulum dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakat.
1. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dan kurikulum berbasis kopentensi Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan sukses terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin sukses di masyarakat.Semua itu merupakan faktor yang yang mendukung untuk menetukan cara belajar seseorang, berikut ini akan di paparkan mengenai pengtahuan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dan kurikulum berbasis kopentensi pada sekolah dasar yaitu :

1. Pengaruh pendidikan dan pembelajaran
Seorang secara genetis telah lahir dengan suatu organisme yang disebut inteligensi yang bersumber dari otaknya. Struktur otak telah ditentukan secara genetis, namun berfungsinya otak tersebut menjadi kemampuan umum yang disebut inteligensi, sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya (Semiawan, C, 1997).Pada kala bayi lahir ia telah dimodali 100 - 200 milyar sel otak dan siap memproseskan beberapa trilyun informasi. Cara pengelolaan inteligensi sangat mempengaruhi kualitas manusianya (Semiawan, C, 1997).Pada kala bayi lahir ia telah dimodali 100 - 200 milyar sel otak dan siap memproseskan beberapa trilyun informasi. Cara pengelolaan inteligensi sangat mempengaruhi kualitas manusianya, tetapi sayang perlakuan lingkungan dalam caranya tidak selalu menguntungkan perkembangan inteligensi yang berpangaruh terhadap kepribadian dan kualitas kehidupan manusia.Ternyata dari berbagai penelitian bahwa pada umumnya hanya kurang lebih 5% neuron otak berfungsi penuh (Clark, 1986). Interface antar berbagai stimulus lingkungan melalui interaksi untuk mewujudkan aktualitasasi diri individu secara optimal dalam masyarakat di mana ia hidup dan juga aktualisasi daerah pada masyarakat yang lebih luas, nasional maupun global, inilah yang harus menjadi perhatian pengelola ataupun atasan atas perlakuan subjek SDM, dalam hal kita, para guru dalam perlakuannya terhadap peserta didik.

2. Perkembangan dan Pengukuran Otak
Perkembangan otak juga sangat berpengaruh dalam perkembangan belajar siswa karena dengan otak yang cerdas dapat dengan mudah menerima pembelajaran yang diberikan dan kemudian mencernanya dan mengembangkannya menjadi hal baru.
3. Kecerdasan (Inteligensi) Emosional
Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan suskse terhadap prestasi belajar.
Emosi selain mengandung persaan yang dihayati seseorang, juga mengandung kemampuan mengetahui (Menyadari) tentang perasaan yang dihayati dan kemampuan bertindak terhadap perasaan itu. Bahkan pada hakekatnya emosi itu adalah impuls untuk bertindak.
Prestasi dalam belajar merupakan dambaan bagi setiap orangtua terhadap anaknya. Prestasi yang baik tentu akan didapat dengan proses yang baik. Dalam proses belajar, hal yang harus diutamakan adalah bagaimana anak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan rangsangan ada, sehingga terdapat reaksi yang muncul dari anak. Reaksi yang dilakukan merupakan usaha untuk menciptakan kegiatan belajar sekaligus menyelesaikannya. Sehingga nantinya akan mendapatkan hasil yang mengakibatkan perubahan pada anak sebagai hal baru serta menambah pengetahuan.
1. 2 . Faktor – faktor yang mempengaruhi belajar :
Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni:
1. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yaitu keadaan/ kondisi jasmani dan rohani siswa.
2. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan di sekitar siswa.
3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Faktor-faktor diatas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang besikap conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal) umpamanya, biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi, karena pengaruh faktor-faktor tersebut diatas, muncul siswa-siswa yang high-achievers (berprestasi tinggi) dan under-achievers (prestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan professional diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.

2. Prinsip Fleksibel
Apa yang diharapkan dalam kurikulum ideal kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi kenyataan yang ada. Bisa saja ketidaksesuaian itu ditunjukkan oleh kemampuan guru yang kurang,latar belakang atau kemampuan dasar siswa yang rendah. Kurikulum harus bersifat fleksibel.Artinya, kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit diterapkan.

3. Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pembelajaran pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Prinsip ini sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi pengulangan-pengulangan materi pembelajaran yang memungkinkan program pengajaran tidak efektif dan efisien, akan tetapi juga untuk keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.


4. Efektifitas
Prinsip efektifitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Efektifitas kegiatan guru berhubungan dengan keberhasilan mengimplementasikan program sesuai dengan perencanaan yang telah disusun.

5. Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum dikatakan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi apabila dengan sarana, biaya yang minimal dan waktu yang terbatas dapat memperoleh hasil yang maksimal.

C.Pengembangan Intruksional
Pengembangan Instruksional adalah cara sistematis dalam mengidentifikasi dan mengembangkan tujuan, materi, strategi belajar-mengajar, alat Bantu pengajaran, dan evaluasi, yang diarahkan untuk pencapaian tujuan, baik tujuan khusus maupun tujuan umum. Pengembangan instruksional secara garis besar dapat dipandang sebagai teknik pengelolaan dalam mencari pemecahan masalah pendidikan atau setidak-tidaknya dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dan sumber tenaga yang ada untuk memperbaiki mutu pendidikan.
Ada model pengembangan instruksional, misalnya Teching Research System (Hamreus,1968), Michigan State University Instructional Development Model (Barson, 1976), System Approach For Education (Corigan, 1996), project Minerva Iinstructioanal System Design (Tracy, 1967), Benathy Instructioanal System (Benathy, 1968), Instructional Development System (IDI, 1971), dan Kemp (1977). Model-model itu mempunyai perbedaan dan persamaan. Perbedaan, terutama terletak pada peristilahan yang dipakai, urutan, dan kelengkapan langkahnya.


D. Jenis Wacana

Wacana-wacana dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut pandangan kita, antara lain :
a. Berdasarkan tertulis atau tidaknya wacana
b. Berdasarkan langsung atau tidak langsungnya pengungkapan wacana
c. Berdasarkan cara penuturan wacana
Berdasarkan apakah wacana itu disampaikan dengan media tulis atau media lisan, maka wacana dapat diklasifikasikan atas :
a. wacana tulis
b. wacana lisan
Berdasarkan langsung dan tidaknya pengungkapan, wacana dapat diklasifikasikan atas :
a. wacana langsung
b. wacana tidak langsung
Berdasarkan cara menuturkannya, maka wacana dapat diklasifikasikan atas :
a. wacana pembeberan
b. wacana penuturan
Berdasarkan bentuknya, wacana dapat pula kita bagi atas :
a. wacana prosa
b. wacana puisi
c. wacana drama








BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan

Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar-mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.

B. Saran
Untuk menunjang kemajuan peserta didik diperlukan modifikasi kurikulum. Kurikulum secara umum mencakup semua pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah, di rumah, dan di masyarakat dan yang membantunya mewujudkan potensi-potensi dirinya. Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan pada umumnya, maka saat ini haruslah diupayakan penyelenggaraan kurikulum yang berdiferensi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam melakukan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda, atau mencari penempatan alternatif bagi siswa

C. Harapan
Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang kreatif dan inovatif nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah. Perkembangan anak didik yang baik adalah perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental.

DAFTAR PUSTAKA

B.Simandjuntak dan I.L.Pasaribu.1980.PsikologiPerkembangan.
Bandung :Tarsito.hal.56
Wina Sanjaya.2008.Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta : Kencana 2008 . hal. 39
M.Atar Semi.1990.Rencana Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bandung :Angkasa. hal.4
H.G.Tarigan.1987.Pengajaran Wacana.Bandung :Angkasa. hal.51
http://ipotes.wordpress.com/2009/06/06/konsep-dasar-perkembangan-belajar-peserta-didik/
http://husamah.staff.umm.ac.id/files/2010/03/MAKALAH-final.pdf



Pacaran Dalam ISLAM

Pacaran dalam Islam


Ditulis pada Nopember 16, 2007 oleh Abu Ja'far Al Atsary


Gimana sich sebenernya pacaran itu, enak ngga’ ya? Bahaya ngga’ ya ? Apa bener pacaran itu harus kita lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang bener ada pacaran yang Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu?

Memiliki rasa cinta adalah fitrah
       Ketika hati udah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya…… dahsyat man…… yang diinget cuma si dia, pengen selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja demi cinta, rela ngelakuin apa aja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampe’ akhirnya……. pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang gawat lagi, karena pengen bukti’in cinta, bisa buat perut buncit (hamil). Karena cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta ditolak …. dukun pun ikut bertindak.

      Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalo ngga’ terpenuhi manusia bakalan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (haajatul ‘udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas, buang hajat de el el. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan aja, tapi kalo’ kagak terpenuhi manusia ngga’ bakalan mati, cuman bakal gelisah (ngga’ tenang) sampe’ terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah). Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu :

1. Gharizatul baqa’ (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui, de el el.
2. Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.

3. Gharizatun nau’ (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.

Pacaran dalam perspektif islam
In fact, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q. S. Al Isra’ : 32)
Seringkali sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do’i. Pokoknya aktivitas pacaran itu dekat banget dengan zina. So….kesimpulannya PACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetep aja pacaran itu haram.

Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu.”(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka mojok atau berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi: “Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya.” (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.” (Q. S. An Nuur : 31).

Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA’ (ketentuan) Allah, dimana manusia ngga’ punya andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur’an: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).”

Wallahu A’lam bish-Showab

Oleh: Buletin Dakwah Remas RIHLAH SMU N I Sooko, edisi 6, 1421 H
Disalin dari Lembar Buletin Dakwah BINTANG (2)

Friday 30 April 2010

MENINGKATKAN BUDAYA MEMBACA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUS

Membaca
Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata itu? Sebagian ada yang berfikir membaca adalah kegiatan yang membosankan. Ada juga yang mengatakan bahwa membaca hanya menyita waktu, tenaga dan pikiran. Bahkan ada yang berasumsi bahwa membaca bukanlah kegiatan yang bermanfaat karena tidak menghasilkan materi. Padahal, kalau kita mau berpikir kritis, kita akan menemukan begitu banyak manfaat dari kegiatan membaca. Dengan membaca suatu bacaan, seseorang dapat menerima informasi, memperdalam pengetahuan, dan meningkatkan kecerdasan. Pemahaman terhadap kehidupan pun akan semakin tajam karena membaca dapat membuka cakrawala untuk berpikir kritis dan sistematis. Hanya dengan melihat dan memahami isi yang tertulis di dalam buku pengetahuan maupun pelajaran, membaca bisa menjadi kegiatan sederhana yang membutuhkan modal sedikit, tapi menuai begitu banyak keuntungan.

Kebiasaan membaca adalah ketrampilan yang diperoleh setelah seseorang dilahirkan, bukan ketrampilan bawaan. Oleh karena itu kebiasaan membaca dapat dipupuk, dibina dan dikembangkan. Bagi negara – negara berkembang aktivitas membaca pada umumnya adalah untuk memperoleh manfaat langsung. Untuk tujuan akademik membaca adalah untuk memenuhi tuntutan kurikulum sekolah atau Perguruan Tinggi. Buku sebagai media transformasi dan penyebarluasan ilmu dapat menembus batas – batas geografis suatu negara, sehingga ilmu pengetahuan dapat dikomunikasikan dan digunakan dengan cepat di berbagai belahan dunia. Semakin banyak membaca buku, semakin bertambah wawasan kita terhadap permasalahan di dunia. Karena itulah buku disebut sebagai jendela dunia.

Manfaat Perpustakaan

Salah satu unsur penunjang yang paling penting dalam dunia pendidikan tinggi adalah keberadaan sebuah perpustakaan. Adanya sebuah perpustakaan sebagai penyedia fasilitas yang dibutuhkan terutama untuk memenuhi kebutuhan civitas akademik ( Dosen, Staf dan Mahasiswa ) akan sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat kampus itu sendiri. Didalam penulisan artikel ini, penulis ingin mengkhususkan pembahasan kepada salah satu bagian dari masyarakat kampus yaitu mahasiswa.

Seperti kita ketahui bersama, salah satu tujuan utama penyelenggaraan kegiatan belajar di Perguruan Tinggi adalah untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, bukan sekedar memenuhi jumlah minimal SKS yang dibebankan lantas mendapatkan ijazah dan gelar akademik atau profesi. Seseorang akan dikatakan berkualitas apabila ia mempunyai wawasan luas dan mendalam serta tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang yang digelutinya.
Seorang mahasiswa yang ingin mencapai sukses dalam studinya harus mempunyai strategi khusus dalam memanfaatkan waktu untuk belajar semaksimal mungkin dan senantiasa memprediksi lima atau enam tahun kedepan, pada saat mana ia meninggalkan Perguruan Tinggi dan mengaplikasikan ilmunya dilapangan. Perlu diingat bahwa, belajar mandiri (self education) adalah ciri khas belajar di Perguruan Tinggi, ini berarti bahwa inisiatif untuk belajar aktif dituntut lebih banyak pada mahasiswa, salah satunya dengan memanfaatkan waktu yang tersisa di perpustakaan.

Manfaat perpustakaan sangat penting untuk mengasah kemampuan analisis dan pendalam materi perkuliahan. Perpustakaan memiliki bahan pustaka yang beraneka ragam jenisnya. Buku-buku sebanyak mungkin harus dibaca, baik buku yang dianjurkan dosen maupun buku lain yang tidak dianjurkan. Disarankan agar mahasiswa tidak membatasi diri hanya membaca buku yang dianjurkan dosen tetapi bacalah buku mengenai fenomena yang sama sebanyak mungkin, karena pandangan dari banyak pakar dengan membaca berarti memperluas wawasan kita mengenai objek studi yang kita pelajari.

Kurangi Tradisi Lisan, Tingkatkan Tradisi membaca

Di era globalisasi dengan kemajuan teknologi, kebanyakan orang cenderung mendengar dan berbicara ketimbang melihat diikuti membaca. Di lembaga – lembaga pendidikan pun tradisi lisan mendominasi proses belajar mengajar sehingga minat baca dan ingin memiliki buku-buku ilmu pengetahuan bukanlah prioritas utama atau sama sekali tidak difungsikan secara efisien. Kenyataan menunjukkan adanya dua alternativ pilihan yakni ketika orang dihadapkan dengan buku-buku ilmu pengetahuan dan tayangan film menarik, orang akan cenderung melelahkan indra penglihatan (mata) untuk menonton film berjam – jam daripada membaca buku-buku ilmu pengetahuan.

Membaca buku-buku ilmu pengetahuan disertai dengan menulis sangat berarti karena mengurangi beban memori ingatan kita. Ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang sama sekali terserap dengan aspirasi menuju kebenaran dan pemahaman. Dalam masyarakat pembaca, selalu terkandung pemikiran bahwa dikala orang telah membaca dan menguasai isi ilmu pengetahuan, orang sering sudah menganggap telah menjadi ilmuwan atau peneliti yang hebat. Salah satu etika moral seorang ilmuwan adalah memiliki kesadaran bahwa dia baru mengetahui sebagian dari ilmu itu. Menjadi ilmuwan bukanlah menjadi orang serba tahu, tetapi menjadi orang yang dituntut untuk belajar secara terus – menerus dengan jalan banyak membaca buku-buku ilmu pengetahuan. Svami Vivekanda seorang tokoh ilmuwan terkenal mengatakan ilmu pengetahuan dan agama akan bertemu dan berjabat tangan, puisi dan filsafat akan menjadi kawan. Apabila kita dapat mewujudkanya, kita dapat yakin bahwa ia akan terjadi selama – lamanya dan bagi semua orang.

Kurangilah tradisi lisan, mendengar dengan membaca dan menulis, tukarkan pembelian barang-barang yang tak memberi input bermakna dengan membeli buku-buku ilmu pengetahuan, luangkanlah waktu sejenak dengan membaca di perpustakaan karena masa depan kita ditentukan masa hari ini dan masa hari ini ditentukan masa yang lampau. Kesemuanya diharapkan dapat mengaktualisasikan makna saraswati dengan arif dan bijaksana sehingga dapat mendatangkan dampak positif ke arah kemajuan. Oleh karena itu, jadikanlah budaya membaca bagian dari kehidupan kita yang tak akan terpisahkan.
A. ‘Bahasa Gaul’ di Kalangan Remaja

“Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan pribadinya”
Gaul, dong! Pede aja lagi! Kasihan deh, lo! Nyantai aja, Coy! Begitulah antara lain “bahasa gaul” yang seringkali kita dengar di kalangan remaja kini. ‘Bahasa gaul” itu seakan telah menjadi bahasa resmi mereka. Bahkan bila dalatn pergaulan mereka ada diantaranya yang menggunakan bahasa Indonesia – katakanlah – yang baku, penggunaan bahasa tersebut seolah terdengar aneh dan dianggap norak dalam komunitasnya. Nggak salah, sih, apabila para remaja menggunakan “bahasa gaul”. Sedangkan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu Pusat Pembinaan Bahasa yang lebih berkompeten mengurusnya, Yang jelas-jelas salah adalah, jika “bahasa gaul” yang digunakan bersinggungan dengan nilai-nilai moral dan agama. Namun nyatannya, disadari atau tidak, justru hal itu yang sering terjadi. Dengan kata lain, banyak penggunaan “bahasa gaul” yang makna aplikatifnya cenderung tidak dibatasi oleh nilai-nilai atau norma-norma tadi (norm/essness).
Gaul, dong!
Dalam konteks sosial pergaulan remaja, “gaul” bukanlah sekedar kata.. Melainkan sudah menjadi semacam istilah atau ungkapan yang ruang lingkupnya menyentuh berbagai perilaku atau gaya hidup remaja. Sayangnya, istilah atau.ungkapan itu cenderung bertentangan dengan nilai atau norma-norma yang ada. Contohnya, berpacaran dengan ngeseks-nya, minum minuman keras (ngedrink), menggunakan obat terlarang (ngedrugs), berjudi (ngegambling) atau yang lainnya dianggap “gaul”. Begitu pula dengan kebiasaan nongkrong, ngeceng, atau yang jainnya. Lebih tegasnya, makna “gaul” lebih berkonotasi negatif. Kata “gaul” yang sudah menggejala bahkan membudaya itu, disadari atau tidaK memiliki makna psikologis yang relatif cukup kuat pengaruhnya dalam komunitas pergaulan remaja. Akibatnya karena ingin disebut “gaul”, tidak sedikit diantara remaja yang ikut-ikutan untuk segera memiliki pacar, ngedrink; nyimenk, ngedrugs, atau yang lainnya termasuk nongkrong atau ngecengnya. Entah di pinggiran jaian, di mal-mal, di tempat-tempat hiburan, dan lain sebagainya. Istilah mereka : “Gaul dooong…”
Pede aja, lagi!
“Pede” (PD) adalah “bahasa gaul” yang mengungkapkan perlunya seseorang u.ntuk “percaya diri”, Namun ironisnya, himbauan, saran, atau perlunya seorang untuk bersikap “percaya diri1 ini juga cenderung tidak dibatasi oleh norma-norma tadi, Misalnya seorang gadis berok mini dan berbaju you can see disarankan untuk “pede” (baca : percaya diri) dengan pakaiannya itu. Bahkan bisa jadi si gadis memang merasa lebih “pede” dengan model pakaian demikian. “Pede aja lagi !” Begitulah bahasa mereka. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan perlunya seseorang untuk bersikap “pede” namun tetap normlessness seperti tadi. Sebab ukuran “pede” yang seharusnya berlandaskan pada keluhuran nilai-nilai moral dan agama, terkikis oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kebendaan. Contoh lainnya, seseorang merasa “pede” hanya lantaran kecantikan atau ketampanan wajahnya semata, “pede” hanya jika ke sekolah atau ke kampus membawa motor atau mobil, “pede” cuma karena mengandalkan status sosial keluarga, dan masih banyak kasus yang lain, Sedangkan merasa “pede” setelah memakal deodoran di ketiak, itu sih, tidak menjadi masalah. Daripada bauket dan mengganggu orang lain ? Ukuran “pede” seperti itu, jelas nggak bermutu, selain juga keliru. Pasalnya, pemahaman “pede” harus lebih ditempatkan dalam ukuran atau standarisasi nilai-nilai ahlak. Bukan karena landasan fisik dan kebendaan semata.
Kasihan deh, Lo!
Ungkapan ini juga termasuk bahasa gaul yang masih cenderung normless. Sebab ungkapan tersebut seringkali terlontar pada konteks yang tidak tepat. Sebagai contoh, seorang remaja yang tidak mau mengikuti tren tertentu dianggap : “Kasihan deh, Lo!”. Begitu pula dengan remaja yang membatasi diri dari perilaku lainnya yang sesungguhnya memang perlu/harus dihindari karena tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma agama (Islam). Misalnya karena.tidak pernah “turun” ke diskotek lengkap dengan ngedrink atau ngec/njgsnya, ataupun perilaku negatif lain yang sudah menjadi bagian dari gaya hidup remaja. Bisa juga ungkapan “Kasihan deh, Lu” ini tertuju pada remaja yang sama sekali tidak mengetahui berbagai informasi yang memang sesungguhnya juga tidak perlu untuk diketahui. Seperti tidak mengetahui siapa sajakah personil bintang “Meteor Garden” yang tergabung dalam “f4″ itu ? Siapa pula “Delon” itu? Atau yang lainnya
Nyantai aja, Coy!
Kekeliruan lain yang juga menggejala dalam “bahasa gaul” remaja adalah ungkapan : “Nyantai aja, Coy!” Tentu tidak masalah dalam kondisi tertentu kita “nyantai”, lebih tepatnya adalah “bersantai” atau istirahat untuk menghilangkan kepenatan. Namun yang menjadi masalah apabila “Nyantai aja, Coy” disini konteksnya mirip dengan lagu iklan Silver Queen : “‘…mumpung kiitaa masih muda, santai saja…” Ingat kan ? “Nyantai aja, Coy!” yang dilontarkan sebagian remaja seringkali bermakna ketidakpedulian terhadap kemajuan atau prestasi diri. Sebagai contoh, seorang remaja mengatakan, “Nyantai aja, Coy!” kepada temannya, karena temannya itu terlihat gelisah lantaran belum belajar untuk persiapan ujian besok pagi, “Nyantai aja, Coy!” terkadang bisa pula menunjukkan ketidakpedulian terhadap lingkungan sosial atau orang lain. Misalnya, seorang remaja putri sedang asyik ngobrol di telepon umum sementara banyak orang antri menunggu giliran. Ketika salah seorang yang antri menegurnya, ia malah menjawab “Nyantai aja, Coy!” Jika mau dicermati tentu masih banyak ungkapan : “Nyantai aja, Coy!” yang sering dilontarkan para remaja namun tidak sesuai dengan konteksnya bahkan menafikan keluhuran nilai-nilai akhlak, Repotnya, apabila mereka dinasihati untuk men}auhi berbagai perilaku yang tidak baik, termasuk dalam menggunakan ungkapan yang tidak tepat (karena tidak sesuai dengan konteksnya), maka dengan mudahnya mereka malah berbalik mengatakan, “Nyantai aja, Coy!”
Membudayakan bahasa gaul yang positif
Berbagai ungkapan seperti: “Gaul, dong!”, “Pede aja lagi!”, “Kasihan deh, Lo!”, “Nyantai aja, Coy!” atau mungkin berbagai ungkapan lain, dalam konteksnya sekali lagi seringkali tidak tepat atau tidak dibatasi oleh nilai-nilai : baik atau buruk. Karena ungkapan-ungkapan “bahasa gaul” itu mempunyai pengaruh psikologis yang relatif cukup kuat dalam mempengaruhi seorang remaja dalam komunitas pergaulannya, maka perlu adanya semacam upaya membudayakan “bahasa gaul” yang “positif” di kalangan mereka.
Contoh yang benar menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut disesuaikan dengan konteksnya atau sejalan dengan nilai-nilai moral adalah sebagai berikut :
Ungkapan Gaul dong!.
“Sebagai seorang pelajar atau mahasiswa, gaul dong dengan buku!”
“Masak pelajar atau mahasiswa gaulnya dengan ngedrugs, nongkrong, ngeceng, lagi”.
“Masak remaja muslim gaulnya seperti itu. Gaul dong dengan remaja masjid”
Ungkapan Nyantai aja, Coy!
“Kalau kita sudah belajar dengan maksimal, nyantai aja menghadapi ujian.”
Sebagai remaja yang memiliki kemampuan berpikir, tentu kita tidak mau dong termasuk orang yang “asbun” alias “asal bunyi” dalam bicara. Nah karena itu, sebaiknya kita meninjau kembali apakah “bahasa gaul” yang setiap hah kita gunakan itu sudah sesuai tidak konteksnya dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Biar nggak asal bunyi. Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan pribadinya. Silakan saja menggunakan “bahasa gaul” sebagai cerminan bahwa kita memang remaja yang senang bergaul. Namun hati-hati, jangan karena kita merasa bangga jadi “anak gaul” tetapi “bahasa gaul” yang kita gunakan tidak tepat konteksnya atau bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Sebab jika demikian bisa-bisa kita justru disebut “anak yang salah gaul”. Ya nggak?!
B. Ketidaksadaran akan Sebuah Kemurnian Bahasa Indonesia
Sekitar 72 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 di bulan Oktober 1928, pemuda-pemudi Negara ini menyatakan sumpahnya yang terkenal. Sumpah Pemuda, itulah awal dari sebuah kebangkitan semangat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia di masa lampau dari belenggu para penjajah.
Salah satu butir dari ketiga butir yang ada pada sumpah itu mengenai bahasa Indonesia. Suatu bahasa yang semenjak itu pula hingga sekarang menjadi alat pemersatu Bangsa kita ini, Tanah Air Indonesia. Selain itu, bahasa inilah yang juga menjadi salah satu lambang identitas penting Negara ini di masa-masa kemerdekaan di tahun 1908 -1945. Di mana di masa-masa itu banyak sekali bahasa asing yang masuk dan hidup “berdampingan“ dengan bahasa Indonesia. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa dari bahasa-bahasa itulah banyak sekali yang dijadikan unsur serapan ke dalam bahasa Indonesia yang sekarang ini. Belum lagi bahasa Sansekerta, bahasa kuno yang hampir mendominasi semua unsur yang ada dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian, bahasa Indonesia tetaplah bahasa yang satu, seperti yang termaktub dalam Sumpah Pemuda di tahun 1928 silam.
Perjalanan panjang bahasa Indonesia pun tidak hanya sampai di sana. Dengan banyaknya bahasa yang digunakan oleh penduduk pribumi Indonesia maupun para pendatang di era pasca-kemerdekaan, tentunya sangat suli sekali bagi Pemerintah dalam penentuan kaidah-kaidah bahasa tulis maupun bahasa lisan yang baik dan benar yang dapat mempersatukan bangsa ini. Terlihat dari potret-potret sejarah, masih banyak tulisan publik yang berciri khas tulisan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Seperti dalam peristiwa demonstrasi-demonstrasi massal yang dilakukan oleh penduduk Indonesia. Bahasa lisan pun masih terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok dari setiap orang yang menggunakannya pada saat itu. Itulah ketidakteraturan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di masa setelah Indonesia merdeka.

Indonesia sempat menggunakan ejaan Suwandi sebagai kaidah-kaidah dasar penulisan yang berlaku. Meskipun pada akhirnya, EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dijadikan sebagai aturan baru dalam penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar sejak tahun 1972. Hingga sekarang EYD masih digunakan di Negara ini.
Sebagai bahasa Nasional yang hanya ada satu negara saja yang memakainya, yaitu Indonesia, tentunya bahasa Indonesia memiliki kamus besar yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemakaian bahasa yang baik dan benar. Kamus itu ialah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semua kata-kata maupun istilah di dalamnya merupakan pedoman yang syah dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Namun, bahasa Indonesia dalam perkembangannya dewasa ini sangatlah memprihatinkan. Bahasa Indonesia dikenal orang, hanyalah sebagai sebuah bahasa Nasional atau bahasa pertama yang ada di Negara ini, tanpa harus menggunakannya dengan benar. Masyarakat, entah karena ketidaktahuan ataupun dengan seenaknya saja, menggunakan bahasa Indonesia tanpa memperhatiakan lagi aturan-aturan dalam pemakaian bahasa yang sesuai. Contoh kecilnya saja dalam berbicara. Banyak orang berbicara di sekitar kita tanpa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seperti pemakaian kata senen. “Senen lebih enak didengar ketimbang kita mengatakan kata senin”. Begitulah kebanyakan orang beralasan mengapa lebih suka menggunakan bahasa Indonesia yang jelas-jelas salah dalam pemakaiannya.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar memang sudah bukan dijadikan hal yang penting lagi bagi masyarakat dalam berbicara. Kita harus menyadari, dari kecil pun, di dalam lingkungan keluarga kita sudah sering menggunakan bahasa Indonesia yang belum tentu kata-kata yang kita pakai itu benar-benar merupakan kata-kata yang sesuai aturan ataupun baku.
Apalagi dalam pergaulan sehari-hari, mungkin saja bahasa Indonesia yang kita pakai selama ini sama sekali tidak mencerminkan ciri khas bahasa Indonesia yang sebenarnya. Banyak sekali kita berbicara tanpa menggunakan kata-kata yang berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sehingga seringkali masyarakat salah mengartikan penggunaan bahasanya dalam kehidupan sehari-hari.

Jutaan orang yang menghuni Bumi Pertiwi ini tentunya berasal dari berbagai macam suku daerahnya masing-masing, sesuai dengan kemajemukan Bangsa ini. Tentunya tidak jarang mereka pun juga membawa sedikit unsur-unsur atau ciri khas masing-masing bahasa daerahnya ke dalam bahasa Indonesia yang kita kenal. Orang yang tinggal di daerah Jakarta dan sekitarnya misalnya, mereka terkadang berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan logat bahasa Betawi. Bae, kita lebih sering mendengar orang mengatakannya ketimbang kata baik. Ini merupakan contoh kecil saja dari sekian banyak kata-kata lain yang menjadi peralihan dari bahasa Indonesia yang sesungguhnya.Contoh lain, ketika penulis pergi ke suatu daerah di Jawa Barat, penulis berbincang-bincang dengan seorang pelajar di sana. Di akhir perbincangan, penulis bertanya kepadanya tentang asal daerahnya. Dengan lugu ia menjawab, ”Saya teh dari Jawa Barat asli”. Dan sebelum pelajar itu bertanya kembali tentang asal daerah penulis, ia pun sudah bisa menjawab dengan sendirinya bahwa penulis pasti berasal dari suku Betawi. Dengan sedikit tertawa kecil dan perasaan heran penulis berkata, “Lo, kok Kamu bisa bilang begitu?”. Singkat cerita, ternyata si Pelajar itu mengira bahwa penulis berasal dari suku Betawi karena dalam percakapan sebelumnya, kata dia, penulis berbicara seperti orang Betawi. Dengan dia berkata seperti itu, penulis pun sadar bahwa selama ini penulis berbicara layaknya seperti orang Betawi berbicara. Padahal penulis sendiri bukan berasal dari daerah Jakarta ataupun Betawi, melainkan hanya tinggal di daerah Jawa Barat yang memang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta.
Cerita di atas tentunya dapat kita pahami bahwa belum tentu selama ini kita menggunakan bahasa Indonesia yang benar-benar murni. Kita tidak pernah sadar, bahwa selama ini kita menggunakan berbagai macam bentuk dan logat kedaerahan dalam bahasa sehari-harinya.
Belum lagi bahasa asing yang masuk. Di era globalisasi ini tentunya memiliki kemampuan berbahasa asing amatlah sangat dibutuhkan. Namun kita tidak boleh menggunakannya secara sembarangan, bukan pada tempatnya. Tanpa kita sadari sering sekali kita menggunakan kata-kata bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, ke dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari dengan cara diselipkan. Misalnya kata sorry, kata ini lebih banyak dan hampir sebagian besar orang menggunakannya dalam berbicara, apalagi anak muda. Dengan cara diselipkan, kata ini terasa lebih nikmat didengar telingga ketimbang kata maaf yang mungkin terasa aneh jika diucapkan seseorang jika memiliki salah. Pengecualian jika kita meminta maaf pada saat hari raya Idul Fitri umat Islam, tentunya lebih nyaman jika menggunakan kata maaf lahir dan batin. Itu jelas lebih “Indonesia”.

Masih banyak lagi, di lingkungan sekolah, kantor, dan bahkan di lingkungan pemerintahan kita sering menggunakan bahasa lisan yang jelas-jelas bukan pada aturannya. Suatu fenomena umum yang sudah menjadi pola kebiasaan bagi masyarakat Indonesia. Padahal kita tahu, ada yang namanya Kamus Besar, Bahasa baku, ataupun aturan-aturan lainnya dalam penggunaan bahasa Indonesia yang sebenarnya.
Bahasa tulis pun juga demikian. EYD, yang selama ini kita punya, hanyalah sebuah aturan yang begitu saja ditinggalkan oleh masyarakat kita. Tidak banyak yang tahu apa-apa saja aturan yang ada pada EYD. Paling-paling hanya kalangan akademis saja yang paham akan keseluruhan isi dari EYD. Itu pun juga yang memang biasa belajar bahasa Indonesia. Namun yang lainnya hanyalah terpaku saja dari apa-apa yang mereka tau. Dalam kehidupan sehari-hari pun kita sering melihat kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa baku yang ada di masyarakat. Kesalahan yang paling sering ialah penulisan kata apotik, yang sering terlihat oleh mata kita di sepanjang jalan dan yang terdapat di rumah sakit. Banyak yang tak menyadari bahwa kata yang benar ialah apotek. Sekali lagi, inilah merupakan pola kebiasaan yang salah yang sudah ada sejak lama dalam masyarakat kita, tanpa ada yang mau peduli untuk benar-benar merubahnya, sekali pun pemerintah yang dalam hal ini merupakan urusan Pusat Bahasa.
Lebih mengkhawatirkan lagi jikalau bahasa-bahasa asing yang ada sudah bercampur baur tidak menentu dengan bahasa Indonesia yang ada. Hal ini berakibat buruk sekali bagi keutuhan bahasa Indonesia itu sendiri dan tentunya dapat menghapus kemurnian sebuah bahasa Indonesia.Hal seperti ini pernah terjadi ketika pemerintah menginstruksikan agar pemakaian nama-nama asing yang digabung dengan bahasa Indonesia pada sebagian Mal, pasar swalayan, dan hotel-hotel untuk segera dirubah. Setelah itu, sebagian besar nama-nama itu memang dirubah. Namun, sekarang sepertinya aturan yang pernah diberlakukan itu hilang begitu saja ditelan masa. Justru sekarang lebih parah. Pusat-pusat perbelanjaan mewah, hotel-hotel-hotel berbintang, dan gedung-gedung lainnya mulai menggunakan nama dengan istilah asingnya yang semakin menjamur. Sehingga tatkala kita berkunjung ke jalanan di kota besar seperti Jakarta, jangan heran kalau kita merasa bagaikan berada di negeri orang dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang diberi nama dengan istilah-istilah bahasa asing.
Mungkin sebagian para pemilik gedung-gedung tersebut berpendapat bahwa dengan pemakain nama bahasa asing tentunya akan lebih memiliki kebanggan dan menarik minat masyarakat sesuai dengan tuntutan di era globalisasi. Namun, apakah dengan menggunakan nama bahasa Indonesia juga tudak membanggakan?. Yang pasti tidak akan rugi bagi para pemilik gedung yang mau memberi nama gedungnya dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti pemakain kata menara akan lebih baik ketimbang menggunakan istilah tower untuk gedung yang tinggi. Mereka juga akan lebih merasa menghargai keutuhan bahasa Nasionalnya.
Masalah lain yang tak kalah penting yang menyangkut keutuhan kemurnian bahasa Indonesia adalah mulai banyaknya penciptaan-penciptaan bahasa “gaul” yang dari dulu selalu saja ada istilah-istilah yang bermunculan. Bahkan Kamus Gaul pun pernah ada yang membuatnya. Dan itu memang sangat digemari.
Bahasa “gaul” inilah yang kerap kali diminati oleh para kaula muda. Penyebarannya pun sangat cepat sekali. Maka tak jarang jika para remaja di suatu wilayah atau kota sudah mengenal bahasa-bahasa “aneh” yang bermunculan. Mereka sering menggunakannya di sekolah-sekolah, kampus, dan tempat-tempat lainnya bersama dengan teman-temannya.
Sebenarnya sungguh ironis jikalau para remaja itu, yang juga belajar pelajaran Bahasa Indonesia di sekolahnya, tidak menjunjung tinggi bahasa Indonesia yang diajarkan. Mereka seringkali tidak mengindahkan nasehat para guru Bahasa Indonesia yang sering memberikan arahan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam berbicara maupun dalam hal menulis.
Semua hal yang diungkap di atas merupakan berbagai macam fenomena kerapuhan dari sebuah kemurnian penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Semuanya hampir tidak pernah kita sadari, bahasa daerah, bahasa asing, bahasa “gaul”, penyimpangan kata, dan lain-lainnya, itulah yang sebenarnya selama ini membuat kita menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak murninya. Hal ini berakar dari pola-pola kebiasaan awal yang salah dalam masyarakat yang setiap saat bergerak dengan cepatnya, bisa melalui media, lingkungan tempat tinggal, dan tempat-tempat di mana kita bisa menghabiskan waktu di sana. Pola-pola ini bisa merupakan suatu pengaruh berbahasa yang bisa datang dari mana saja. Bahasa asing dan bahasa daerah yang masuk “berdampingan” dengan bahasa Indonesia harus dijadikan kekuatan. Kita pun harus menghargai yang namanya suatu kemajemukan berbahasa. Namun, kita harus bisa menjaga keutuhan bahasa Indonesia dengan cara memposisikan masing-masing bahasa sesuai keperluan dengan tepat. Kita harus bisa melihat situasi, kondisi, dan tempat dalam pemakaian bahasa-bahasa tersebut. Jangan sampai bahasa Indonesia yang kita gunakan bercampur baur begitu saja dengan bahasa atau istilah lain yang dapat menyimpang dari aturan dan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan. Begitu juga dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Yang harus kita perhatikan adalah penempatan posisi kita dalam berbicara menggunakan kata-kata popular dan ilmiah. Dalam lingkup resmi, bahasa ilmiah-lah yang digunakan. Bahasa popular kita gunakan dalam pergaulan sehari-hari di lingkup yang kecil. Tapi, kita harus tetap mengingat untuk tidak menyalahi aturan yang sudah ditetapkan.
Khusus untuk bahasa-bahasa “gaul” atau istilah-istilah “aneh” lainnya, memang ini yang paling sulit karena berhubungan langsung dengan anak muda. Padahal anak muda-lah yang nantinya sebagai penerus bangsa ini. Untuk itu kita tidak harus tinggal diam begitu saja. Karena kalau terus-terusan seperti ini, kemurnian bahasa Indonesia akan semakin semrawut, hingga pada akhirnya sudah tidak ada lagi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Hal ini merupakan pekerjaan keras bagi para pendidik untuk kaum muda. Di sekolah misalnya, guru Bahasa Indonesia harus bisa memberikan contoh yang baik dalam penggunaan bahasa. EYD, bahasa baku, serta aturan-aturan lainnya dalm pengguanaan bahasa yang baik dan benar dalam pergaulan sehari-hari harus sering dimasukkan ke dalam agenda pengajaran yang utama. Dengan begini, nantinya seorang guru bisa memberikan pengaruh yang besar bagi para pengguna bahasa Indonesia. Sehingga diharapkan pola-pola kebiasaan yang salah selama ini dapat dibenarkan.
Dengan melalui pendidikan formal seperti ini sedari kecil, diharapkan akan terbentuk bibit-bibit manusia yang mengerti apa itu bahasa Indonesia yang sebenarnya. Bukan itu saja, pendidikan informal atau dari luar sekolah pun juga bisa dilakukan. Negara ini memiliki Pusat Bahasa yang langsung dibawahi Departemen Pendidikan Nasional. Ini merupakan modal yang teramat baik. Pusat Bahasa tentunya harus mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak yang bisa dilakukan oleh Pusat Bahasa. Seperti melakukan pelatihan kepada guru-guru Bahasa Indonesia dari segala jenjang pendidikan, mengadakan seminar- seminar kepada remaja atau masyarakat lainnya, mengadakan lomba-lomaba umum yang berhubungan dengan bahasa, mengadakan pelatihan serta lomba bahasa kepada wartawan atau media, dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam rangka peningkatan kualitas berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selain itu, Pemerintah juga harus bisa memberi contoh yang baik dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena dilema pemakaian bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat juga merupakan tanggung jawab Pemerintah dan tentunya kita semua.
Pemerintah juga harus bisa menempatkan posisi bahasa dalam kaidah yang tepat. Baik itu Presiden, Wapres, dan para Menteri-Menterinya di lingkungan departemen, harus mulai menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai, tidak dengan penambahan-penambahan istilah asing dalam berbicara Indonesia karena itu bisa merusak kemurnian bahasa Indonesia. Salah satu aspek yang penting lagi adalah media. Media merupakan pengaruh yang besar dalam berbahasa, karena memang kita berhubungan langsung dengannya, baik secara audio maupun visual. Untuk itu kita harus lebih pandai-pandai menghindari pengaruh buruk yang dapat menjadi pola kebiasaan kita dalam berbahasa. Karena hanya dari media-lah berbagai macam jenis karakter bahasa bisa datang dengan begitu saja.
Untuk itu diharapkan kepada media agar dapat juga berperan dalam peningkatan kualitas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan aturan karena media pun juga menggunakan bahasa, yang merupakan aspek penting dari sebuah media.Tanpa bermaksud hendak menyalahi aturan tentang kebebasan pers, tentunya pemerintah pun harus lebih bisa mengawasi pemakaian bahasa di dalam suatu media, khususnya media cetak. Bahkan akan lebih baik jika pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai batas-batas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam suatu media. Ini demi kelangsungan keutuhan bahasa Indonesia.
Di akhir tulisan ini penulis hanya berharap bahwa bahasa Indonesia yang sudah kita kenal sejak tahun 1928 sampai sekarang akan tetap ada selamanya. Akan tetap utuh dengan kemurniannya tanpa ada kerapuhan-kerapuhan di dalamnya. Akan tetap menjadi bahasa persatuan kita. Dan tetap menjadi satu-satunya bahasa Nasional yang ada di Negara tercinta ini. Juga diharapkan kepada seluruh elemen masyarakat, agar kita selalu menjaga keutuhan bahasa Nasional kita, bahasa Indonesia, selayaknya kita menjaga keutuhan Negara ini. Dan tidak ada lagi kebutaan tentang bahasa Indonesia, tidak ada lagi yang namanya ketidaksadaran akan sebuah kemurnian bahasa Indonesia, sehingga kita paham, kita tahu, dan mengerti apa itu bahasa Indonesia yang sesungguhnya. Dan bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, melainkan juga bangsa yang menghargai bahasanya.

Saturday 16 January 2010

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

"Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-indonesia-an kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang di utarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Lap-lap hasil kebudayaan sampai berikat dan untuk di banggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia di tetapkan oleh kesatuan yang berbagai-bagai rangsang suara yang di sebabkan oleh suara-suara yang di lontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu aseli yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman".



Jakarta, 18 februari 1950.

DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

E-LEARNING SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN PENDIDIKAN INDONESIA
IT atau Information Technology memberikan kontribusi yang luar biasa dalam hal penyebaran materi Informasi ke seluruh belahan dunia. IT merupakan suatu alat Globalisator yang luar biasa – salah satu instrumen vital untuk memicu time-space compression (menyusutnya ruang dan waktu), karena kontaknya yang tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal dan melibatkan ribuan orang. Hanya dengan berada di depan komputer yang terhubung dengan internet, seseorang bisa terhubung ke dunia virtual global untuk ‘bermain’ informasi dengan ribuan komputer penyedia informasi yang dibutuhkan, yang juga terhubung ke internet pada saat itu.
Perkembangan teknologi informasi (TI) yang sedemikian pesat tersebut menciptakan kultur baru bagi semua orang di seluruh dunia. Dunia pendidikan pun tak luput dari sentuhannya. Integrasi teknologi informasi ke dalam duina pendidikan telah menciptakan pengaruh besar. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, mutu dan efisiensi pendidikan dapat ditingkatkan.
Di tengah kemelut dunia pendidikan Indonesia yang tak kunjung selesai, kehadiran teknologi informasi menjadi satu titik cerah yang diharapkan mampu memberi sumbangan berarti dalam meningkatkan mutu pendidikan. saat ini mutu pendidikan Indonesia masih sangat rendah. Laporan tahunan Human development Index UNDP tahun 2004 menempatkan Indonesia pada posisi 111 dari 175 negara. Adapun hasil survai tentang kualitas pendidikan di Asia yang dilakukan oleh PERC (The Political and Economic Risk Country), Indonesia berada pada posisi 12 atau yang terendah (Suara karya, 18 desember 2004). Peringkat ini sepertinya tidak mengalami pergeseran jauh pada saat sekarang ini mengingat problematika pendidikan yang masih saja belum berubah.
Salah satu produk integrasi teknologi informasi ke dalam dunia pendidikan adalah e-learning atau elektronik learning. Saat ini e-Learning mulai mengambil perhatian banyak pihak, baik dari kalangan akademik, profesional, perusahaan maupun industri. Di institusi pendidikan tinggi misalnya, e-Learning telah membuka cakrawala baru dalam proses belajar mengajar. Sedangkan di lingkungan industri, e-Learning dinilai mampu membantu proses dalam meningkatkan kompetensi pegawai atau sumber daya manusia. Dari dunia akademis metode pembelajaran ini sudah mulai banyak diterapkan dan dikembangkan. Ambil contoh penerapan e-Learning di kampus ITB, IPB, UI, Unpad, Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Malang, dan universitas lainnya baik negeri maupun swasta, seperti Universitas Bina Nusantara (Ubinus) Jakarta.
E-learning pada hakikatnya adalah bentuk pembelajaran konvensional yang dituang dalam format digital dan disajikan melalui teknologi informasi. Secara ringkas, Anwas (2005) menyatakan e-larning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam system digital melalui internet. Keunggulan-keunggulan e-learning yang paling menonjol adalah efisiensinya dalam penggunaan waktu dan ruang. Seperti telah disebutkan di atas, pendidikan berbasis teknologi informasi cenderung tidak lagi tergantung pada ruang dan waktu. Tak ada halangan berarti untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar lintas daerah, bahkan lintas negara melalui e-learning. Dengan e-learning pengajar dan siswa tidak lagi selalu harus bertatap muka dalam ruang kelas pada waktu bersamaan.
Dengan sifatnya yang tidak tergantung pada ruang dan waktu, e-learning memiliki keunggulan lain yakni memungkinkan akses ke pakar yang tak terhalang waktu dan tak tidak memerlukan biaya mahal. Seorang pelajar di daerah dapat belajar langsung dari pakar di pusat melalui fasilitas internet chatting atau mengakomodir suara dan bahkan gambar realtime. Dengan e-learning, sekolah-sekloah dengan mudah dapat melakukan kerjasama saling menguntungkan melalui program kemitraan. Dengan demikian sekolah yang lebih maju dapat membantu sekolah yang belum maju sehingga dapat diupayakan adanya pemerataan mutu pendidikan. Satu lagi keunggulan e-learning tentunya adalah ketesediaan informasi yang melimpah dari sumber-sumber di seluruh dunia. Dengan menggunakan internet sebagi media pembelajaran akan didapatkan sumber informasi untuk pengayaan materi yang jumlahnya sangat tak terbatas.
Model pembelajaran e-learning – dengan segala keunggulan di atas—akan sangat membantu dunia pendidikan Indonesia. e-learning dapat menjadi alternatif cara peningkatan mutu pendidikan Indonesia dan melakukan upaya pemerataan di seluruh wilayah Indonesia. sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penyebaran mutu pendidikian di Indonesia belum merata. Ada kesenjangan cukup jauh antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pendidikan di pulau jawa dan Sumatera (Indonesia bagian barat) cederung lebh maju dari Indonesia bagian timur. Kesenjangan seperti ini haruslah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. E-learning dapat menjadi solusi kreatif bagi pemerintah.
Karena masih diperlukannya pengembangan, maka masih diperlukan fokus perhatian akan e-Learning ini. Khusus dari sisi regulasi, perlu diamati sudah seberapa jauh peranan regulasi dari pemerintah atau departemen terkait dalam mendukung terealisasinya dukungan e-Learning dalam proses pendidikan di Tanah Air. Hingga saat ini Inedonesia sudah memiliki Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ. Di mana secara lebih spesifik UU ini mengizinkan penyelenggara pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara PTJJ dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Regulasi ini diperlukan untuk melindungi minat belajar masyarakat dari malpraktik penyelenggaraan pendidikan. Selain itu juga menyiapkan rambu-rambu dalam pengembangan e-Learning sepatutnya, dan tidak hanya untuk melindungi dari malpraktik tapi juga untuk mengantisipasi tantangan masa depan e-Learning.
Undang-undang yang mengakomodasi e-Learning itu di antaranya UU nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan pengaturan pemerintah lebih lanjut untuk mandapatkan jaminan kualitas dalam e-Learning, termasuk di dalamnya sistem akreditasi dan asesmen yang efektif.
Sementara pemerintah akan mengeluarkan kebijakan mengenai e-Learning untuk memenuhi target 26 juta tenaga ahli di bidang TI tahun ini. Untuk sementara ketersediaannya diprediksi baru sekitar 10 juta orang. Pemerintah juga mencatat dari sisi kesiapan infrastruktur TI seperti komputer, posisi Indonesia masih sangat rendah, yaitu di peringkat 59 dari sejumlah 64 negara yang tercatat dalam Economist Intelligence. Kebijakan e-Learning tersebut akan terangkum dalam Cetak Biru Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Tatanan Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah
Mengambil pelajaran dari negara lain seperti Taiwan, lembaga-lembaga tinggi negara mereka telah memberikan dukungan yang cukup besar dalam e-Learning. Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan The Office of e-Learning National Project dan Association of E-Learning. Salah satu permasalahan yang dihadapi institusi akademis di negara berkembang, khususnya negara yang memiliki jumlah populasi yang besar, area geografis yang luas, juga multietnis adalah ketidakseimbangan dalam menangani kegiatan akademik. Konsekuensi logisnya adalah ketidakseimbangan kualitas akademik dan selanjutnya akan mempengaruhi daya saing bangsa di era global.
Urgensi penerapan e-learning di Indonesia juga terkait dengan keterbatasan akses pendidikan berkualitas dari sisi jumlah institusi pendidikan dan jumlah siswa, kecenderungan makin meningkatnya pengguna internet, kendala geografis, juga aspek long-life learning opportunity.
Tujuan umum pembelajaran jarak jauh menggunakan e-Learning di Indonesia adalah agar tersedia akses belajar dan perbaikan kesamaan kesempatan belajar pada semua pembelajar. Selain itu juga untuk memperkuat dan memperdalam pengertian terhadap ilmu pengetahuan, memperluas cakrawala dan memperkaya keberagaman subjek pengetahuan, dan memperbaiki efektivitas proses belajar.
Sebuah studi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Diten Dikti ) RI (2003) menunjukkan bahwa sub sektor pendidikan tinggi terdiri dari 82 perguruan tinggi negeri (PTN) dan lebih dari 2.236 perguruan tinggi swasta (PTS). PTN menampung 1 juta mahasiswa dan sekitar 2 juta mahasiswa berada di PTS. Bagian yang lebih kecil dari populasi mahasiswa, sekitar 200.000 mahasiswa berada di perguruan tinggi agama dan institusi pendidikan professional. Tingkat partisipasi di pendidikan tinggi masih rendah (sekitar 12,8 %) dibandingkan dengan negara berkembang lainnya di lingkup regional, seperti Filipina (32%) dan Thailand (30%).
Kendala-kendala
Manfaat IT di bidang pendidikan memang menggiurkan bagi kaum akademisi yang haus akan informasi, juga bagi mereka yang hendak memobilisasi bangsa Indonesia agar lebih maju lagi dalam bidang ini. Namun ada beberapa kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin. Pemerintah memang masih perlu mempersiapkan banyak hal untuk ini.
Salah satu kendala utamanya : kurangnya ketersediaan sumber daya manusia untuk melakukan proses transformasi teknologi, dan menyediakan infrastruktur telekomunikasi beserta perangkat hukumnya yang mengaturnya. Dalam hal perangkat hukumnya, yang menjadi pertanyaan dilematis adalah, “apakah infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan gaya baru ini?”, Sedangkan Cyberlaw yang menjadi senjata untuk menjerat pelaku kriminalitas di dunia maya tidak terdengar “kabarnya”.
Selain itu masih terdapat kekurangan pada hal pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan sementara penetrasi komputer (PC) di Indonesia masih rendah. Biaya penggunaan jasa telekomunikasi juga masih mahal bahkan jaringan telepon masih belum tersedia di berbagai tempat di Indonesia. Untuk itu perlu dipikirkan akses ke Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Sementara itu tempat akses Internet dapat diperlebar jangkauannya melalui fasilitas di kampus, sekolah, bahkan melalui warung Internet. Hal ini tentunya diperhadapkan kembali kepada kesiapan pihak pemerintah maupun pihak swasta; Yang pada akhirnya pemerintahlah yang memegang kunci keberhasilan penerapannya. Sebab pemerintah merupakan pihak yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan. Namun sementara pemerintah sendiri masih demikian pelit untuk mengalokasikan dana untuk kebutuhan pendidikan. Saat ini baru Institut-institut pendidikan unggulan yang memiliki fasilitas untuk mengakses jaringan IT yang memadai. Padahal masih banyak institut-institut pendidikan lainnya yang belum diperlengkapi dengan fasilitas IT.

Harapan kita bersama hal ini dapat diatasi sejalan dengan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih dan semakin murah.

Sistem Pendidikan di Indonesia dalam Kacamata “Pendidikan Kritis”
Dalam kalimat “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,……..” (Pembukaan UUD 1945 Alinea IV)
Berdasarkan kutipan di atas, salah satu tujuan Negara Republik Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Founding People[1] telah merumuskan tujuan negara tersebut bersama dengan konstitusi tertulis Indonesia. Menurut tujuan negara tersebut jelas terlihat bahwa pendiri bangsa memiliki komitmen yang kuat dalam bidang pendidikan. Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan aspek penting untuk meciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas serta berkontribusi bagi pembangunan negara.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari rumusan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan memiliki peranan yang penting sehingga diperlukan adanya sistem yang dapat mengakomodir fungsi dan tujuan agar tercipta sinergitas antara fungsi dan tujuan tersebut.
Realita pendidikan di Indonesia saat ini menunjukkan adanya proses pembaharuan sistem secara berkelanjutan. Mulai dari standardisasi nilai Ujian Akhir Nasional hingga kebijakan penerapan otonomi kampus di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Semua sistem yang hari ini berusaha diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia menimbulkan berbagai fenomena unik, mulai dari penolakan keras hingga kritik terhadap sistem tersebut.
Dr.dr.B.M Wara Kushartanti (pemerhati pendidikan.red), mengungkapkan bahwa sistem pendidikan Indonesia tidak membuat siswa kreatif karena hanya terfokus pada proses logika, kata-kata, matematika, dan urutan dominan. Akibatnya perkembangan otak siswa tidak maksimal dan miskin ide baru.[2] Pernyataan tersebut mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan proses pendidikan hari ini. Value Oriented yang dimaknai sebagai hasil akhir, bukan dari proses yang dilakukan, terkadang menjerumuskan paradigma pendidikan. Sehingga tak aneh ketika seorang sarjana dengan IPK Cum Laude tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan di bangku perkuliahan. Orientasi pada nilai cenderung mengesampingkan proses kreatifitas yang justru dibutuhkan ketika “terjun” di masyarakat.
Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.[3] Konsep yang coba untuk dituangkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir berkebangsaan Brazil adalah “proses pendidikan Sosial”. Dalam hal ini, sistem pendidikan menempatkan pelajar sebagai subjek bukan objek. Sedangkan realita sosial yang terjadi di sekitar dijadikan sebagai materi pembelajaran. Proses ini mengantarkan terwujudnya dialektika dan kesadaran kritis dari tiap individu.
Terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih berorientasi pada nilai akhir, maka konsep “pendidikan kritis” oleh Paulo Freire ini dapat merubah paradigma pendidikan tersebut. Perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada nilai agaknya perlu diikuti dengan perubahan sistem yang lebih “humanis” dan berkeadilan karena mengingat kembali bahwa tujuan yang diemban negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berlandaskan pancasila. Pada akhirnya, pendidikan tak hanya dimaknai sekedar ajang mencari nilai bagus dan ijazah sebagai bentuk legitimasi. Namun lebih dari itu, pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia dan membentuk manusia yang beradab dan berkontribusi bagi peradaban bangsa.

Paradigma Pendidikan Nasional
Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini terlihat pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan bagian kesatu (Umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Terlihat jelas dalam pasal ini adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan umum.
Ada indikasi kuat bahwa pengembangan ilmu pengatahuan dan sains teknologi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional tidak memiliki hubungan yang kuat dengan pembentukan karakter peserta didik. Padahal, pembentukan karakter merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Agama yang menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter peserta didik hanya ditempatkan pada posisi yang sangat minimal, dan tidak menjadi landasan dari seluruh aspek.
Minimalnya peran agama, tampak jelas pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab X tentang Kurikulum pasal 37 ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat 10 bidang mata pelajaran, dimana disana terlihat bahwa pendidikan agama tidak menjadi landasan bagi bidang pelajaran lainnya.
Hal ini berdampak pada tidak terwujudnya tujuan pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri, masyarakat, bangsa dan negara.
Paradigma pendidikan sekular melahirkan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Kondisi kualitas sumber daya manusia yang rendah ini memperburuk kehidupan bermasyarakat. Memang dengan pendidikan sekarang masih bisa melahirkan generasi yang ahli dalam pengetahuan sains dan teknologi, namun ini bukan merupakan prestasi, karena pendidikan seharusnya menghasilkan generasi dengan kepribadian yang unggul dan sekaligus menguasai ilmu pengetahuan. Buruknya kondisi kehidupan masyarakat akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia tampak pada masih banyaknya kasus tawuran, seks bebas, narkoba dan perilaku jahat lainnya yang dilakukan para peserta didik di negeri ini.

Standar Kelulusan
Dalam UU Sisdiknas Bab V tentang Standar Kompetensi Lulusan pasal 25 disebutkan: (1) Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. (2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah. (3) Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan. (4) Kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Dari pasal tersebut diketahui bahwa kompetensi kelulusan harus mencakup sikap (afektif), pengetahuan (kognitif) dan ketermpilan (psikomotorik). Standar kompetensi ini harus menjadi acuan pada pemerintah dalam menetapkan standar kelulusan. Namun, terjadinya kontradiktif antara ketetapan dengan pelaksanaan di lapangan.
Kontradiktif ini terlihat dari kebijakan Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang menetapkan bahwa kelulusan didasarkan pada hasil UAN (Ujian Akhir Nasional). Mata pelajaran yang menjadi standar kelulusan terdiri dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Tentu saja ini tidak mencakup kompetensi kelulusan yang telah ditetapkan pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab V pasal 25. Karena UAN (Ujian Akhir Nasional) sendiri hanya bentuk evaluasi pelajaran dan merupakan cakupan dari pengetahuan peserta didik saja, tidak mencakup keterampilan dan sikap mereka.
Ketiga mata pelajaran ini tidak tepat untuk dijadikan sebagai representasi dari kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu selama tiga tahun di sekolah. Sudah menjadi hal yang umum, bahwa peserta didik memiliki minat dan kemampuan yang berbeda. Ada peserta didik yang tidak menguasai matematika, tapi ia menguasai biologi atau kimia atau yang lainnya. Ada juga peserta didik yang menguasai matematika, tapi tidak menguasai biologi atau kimia atau yang lainnya. Ini tentu merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Jadi, menentukan kelulusan peserta didik hanya dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika adalah tidak tepat.
Dengan standar nilai sebesar 4,26 juga menimbulkan ketidakadilan bagi peserta didik. Sebagai ilustrasi, seorang peserta didik pertama mendapatkan nilai Bahasa Indonesia sebesar 8 dan Matematikanya 4, ini berarti ia tidak lulus. Peserta didik kedua mendapatkan nilai Bahasa Indonesia sebesar 5 dan Matematikanya sebesar 4,9 ini berarti ia lulus. Ketidakadilan ini tampak jelas, anak yang pertama mendapatkan rata-rata sebesar 6 tidak lulus sedangkan anak kedua yang mendapatkan rata-rata sebesar 4,95 dinyatakan lulus. Kondisi seperti ini sangat merugikan bagi para peserta didik.
Dalam UU Sisdiknas Bab XVI tentang Evaluasi, Akreditasi, Dan Sertifikasi bagian kesatu (Evaluasi) pasal 58 ayat (1) disebutkan: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dari sini terlihat bahwa guru yang melakukan evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik. Faktanya, pihak yang paling mengetahui kemampuan, keahlian, keterampilan, pengetahuan dan sikap para peserta didik adalah guru-guru yang mengajar dan membina mereka. Guru senantiasa bersama mereka, sehingga mengetahui kondisi peserta didik secara baik. Dan guru juga pasti mengetahui apakah peserta didik itu layak lulus atau tidak setelah ia menempuh proses pendidikan selama tiga tahun. Jadi, yang lebih layak dalam menentukan kelulusan peserta didik sebenarnya adalah guru.
Kondisi sarana dan prasana pendidikan yang ada di tiap sekolah merupakan faktor penting dalam proses pendidikan. Kondisi sarana dan prasana di tiap sekolah di Indonesia berbeda, kondisi ini akan menghasilkan kualitas pendidikan yang berbeda pula. Standar nilai kelulusan yang ditetapkan pemerintah sebesar 4,26 harus dikaji lebih dalam, apa yang menjadi dasar pemerintah menetapkan standar nilai ini dan apakah dapat menjadi representasi yang merata bagi tingkat kualitas pendidikan di seluruh Indonesia ?.
Standar nilai yang ditetapkan dapat bernilai baik jika pemerintah tidak mengabaikan kualitas sarana dan prasarana pendidikan di tiap tempat pendidikan di seluruh Indonesia. Diketahui bahwa banyak sekali sekolah di Indonesia yang sarana dan prasarana pendidikannya tidak bermutu dan tidak layak. Seharusnya pemenuhan sarana dan prasarana di tempat-tempat pendidikan dilakukan oleh pemerintah. Dalam UU Sisdiknas Bab XIII tentang pendanaan Pendidikan bagian kesatu (Tanggung Jawab Pendanaan) pasal 46 ayat (1) disebutkan: pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Yang terjadi selama ini pemerintah belum memenuhi tanggung jawabnya, sebaliknya yang terjadi adalah pemerintah melakukan kapitalisasi pendidikan, sehingga pendidikan menjadi mahal.
Oleh karena itu, standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dengan hanya mengacu pada tiga mata pelajaran dan standar nilai sebesar 4,26 adalah tidak tepat. Hal ini disebabkan karena, pertama tiga mata pelajaran yang dijadikan acuan bukanlah representasi dari tingkat kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu selama tiga tahun; kedua sarana dan prasarana pendidikan tidak merata diseluruh Indonesia sehingga kualitas pendidikan pun akan berbeda, sehingga menetapkan standar nilai sebesar 4,26 adalah bentuk ketidakadilan, harus ada keseimbangan antara kualitas pendidikan yang dikehendaki pemerintah dengan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di tempat pendidikan di seluruh Indonesia; ketiga pihak yang mengetahui akan kemampuan, keahlian, pengetahuan dari peserta didik adalah guru, sehingga yang lebih berhak menentukan kelulusan peserta didik adalah guru.
Buruknya sistem pendidikan Indonesia semakin nyata. Paradigma pendidikan yang sekular, biaya pendidikan yang mahal, pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata, standar kelulusan yang tidak merepsentasikan tingkat kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu. Ini semua terjadi karena diterapkannya sistem Kapitalisme yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya.
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyatnya yang wajib dipenuhi. Penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Rasulullah saw bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”(HR al-Bukhari dan Muslim). Seorang penguasa dalam Islam berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya dan orang-orang yang digaji untuk mendidik. Sehingga akan tercipta pendidikan yang berkualitas dan gratis.
Agar lulusan pendidikan menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai harapan, maka dibuat pendidikan terpadu. Sistem pendidikan harus memperhatikan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Ada tiga faktor: pertama sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga; kedua kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi; ketiga berorientasi pada pembentukan tsaqafah Islam, berkepribadian Islam dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, maka KALAM UPI menyatakan bahwa:
1. Sistem pendidikan yang ada harus diganti dengan sistem pendidikan berlandaskan Islam.
2. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Pemerintah harus mengkaji ulang terhadap standar kelulusan yang diterapkan. Standar kelulusan ini harus adil dan mencakup kompetensi dalam Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap dari peserta didik.
4. Pemerintah harus mencari langkah yang tepat dan adil bagi siswa yang tidak lulus UAN tahun 2006, karena semua ini terjadi akibat kesalahan sistem pendidikan Indonesia.
5. Komponen-komponen masyarakat seluruhnya harus mengawasi jalannya proses perbaikan ini.

PROBLEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Kebudayaan adalah konsep,gagasan,fikiran dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat dalamwaktu lamasehinggi menuntun mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi dengan sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa. Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi (Panca Sila,UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh faunding father RI dan dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun kebudayaan dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel pada pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya justeru tidak ada yang mengerjakan. Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan lebih tepat berada di departemen pendidikan (depdikbud), karena pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara pendidikan anak usia dini (PAUD)dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada masyarakat local sebagai wujud pembentukan budaya local, kearifan local.

Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
1. Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran. Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. What wrong?
2. Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada pendidikan generasi ini?
Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini (masa orde Baru), meliputi:
[a] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
[b] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
[c] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
[d] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
[e] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp. 400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp. 4.000,-/anak/tahun.
[f] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
[g] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
[h] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
[i] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:
1. Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
2. Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
3. Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
4. Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
5. Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
6. Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
7. Cendekiawan yang hipokrit,
8. Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
9. Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
10. Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.
Pendidikan pada Era reformasi
1. Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan soulusi
2. Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari system pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidakkompetetip hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah system pendidikan secara radikal juga punya problem,yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari system pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
3. Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah system pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba system di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru –yang digugu dan ditiru- seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya doctor dan professor bidang pendidikan tetapmengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan system pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balikmeja berpedoman kepada teori-teori Barat.. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
4. Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
5. Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
6. Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.
7. Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan Negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informaldan non formal. Pada satu titiknanti, gelar-gelar akademik juga tidaklagi relefan